22 November 2011

Pengamat: Siswa tawuran karena degradasi moralitas


Bandarlampung (ANTARA News) - Salah seorang pengamat masalah hukum dan sosial menyebutkan degradasi etika dan moralitas dalam kehidupan sosial menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi makin sering terjadi tawuran siswa sekolah.

"Pemerintah dan tenaga pengajar, juga orang tua, harus duduk bersama menyepakati pembenahan pola pendidikan agar generasi kita memiliki karakter yang kuat dalam menghadapi zamannya," kata Guru Besar Fakultan Hukum Unila, Prof Dr Sunarto, saat diminta tanggapannya, di Bandarlampung, Senin.

"Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat begitu pesat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada benturan pada nilai-nilai di masyarakat, nilai- nilai lama mulai memudar sedangkan nilai-nilai baru sedang mencari bentuknya atau jati diri," tambah Sunarto. 

Kedua, kaum remaja dalam mencari identitas diri mudah sekali terpengaruh. 
"Tayangan televisi dan film kekerasan, penayangan media massa tentang tawuran dan demo yang tidak disensor atau menunjukkan kebrutalan, juga menjadi contoh bagi perilaku remaja kita," katanya.

Ketiga, kurikulum pendidikan cara belajar siswa aktif yang membuat banyak remaja tidak mampu mengikutinya, sehingga menjadi frustasi dan mencari sensasi diri.

Keempat, nilai-nilai kebenaran dan hakikat hidup terkait budi pekerti tidak lagi diajarkan secara aktif dan efektif.

"Nilai-nilai ini hanya sebagai ilmu dan tidak meresap dalam perilaku," katanya.

Menurutnya, degradasi moral itu disebabkan hilangnya pola panutan atau idola bagi remaja. Remaja hanya mengidola pada penyanyi dan grup band, mereka kehilangan kepercayaan pada pemimpin, politisi, penegak hukum, tokoh, dosen, guru maupun orang tuanya sendiri.

"Terkadang para pejabat yang sudah jadi `orang`, suka memamerkan kejahilan dahulunya. Mereka suka menceritakan hal-hal yang tidak penting seperti `saya dulu juga nakal, tukang berkelahi, maling, tapi ya syukur bisa jadi begini,". Menurutnya, ucapan-ucapan seperti itu membahayakan dan dapat dicontoh generasi muda.

Sementara itu, tawuran atau perkelahian antar-pelajar di kota-kota besar tampak berimbas ke daerah-daerah juga, termasuk ke Lampung.

Salah satu guru SMU 12 Bandarlampung, Febrina, tidak memungkiri jika berulangkali terjadi tawuran antara siswa sekolahnya dengan sekolah lain.

"Tawuran itu sepertinya sudah menjadi program tahunan dan turun-temurun, ada saja alasan siswa untuk tawuran," kata Febrina.

"Kalau sudah terjadi penyerangan, biasanya waktu belajar efektif bisa terganggu sampai semingguan lebih. Kami sudah meminta pada anak didik untuk tidak menyulut emosi, karena dampak dari tawuran itu mengganggu semua tatanan sosial," katanya.

(H009)
Editor: Ella Syafputri