4 November 2011

Banyak Honorer Bagus, Banyak Juga Titipan


HARAPAN tenaga honorer dijungkirbalikkan. Suka cita membumbung tinggi tatkala dijanjikan 67 ribu tenaga honorer bakal diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada Oktober 2011. Menghitung hari, ternyata lewat Oktober janji tinggallah janji. EE Mangindaan yang melontarkan janji, digeser menjadi Menteri Perhubungan. 

Harapan ribuan tenaga honorer, termasuk 600 ribu yang masuk kategori II, juga meredup, tatkala Wakil Menpan-RB, Eko Prasojo, memberikan sinyal menunda rencana pengangkatan. Alasannya, menunggu penataan pegawai kelar. Masalah beban keuangan negara, terkait uang gaji yang harus disediakan rutin tiap bulan, juga menjadi alasan.

Wakil Ketua Komisi II DPR, Ganjar Pranowo, lantas meradang. Jika benar ditunda, lanjutnya, berarti pemerintah mengingkari kesepakatan dengan DPR.  Politisi dari PDI Perjuangan itu berpihak kepada jeritan honorer. Dia pun mendesak agar Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pengangkatan honorer 'tercecer' ini, segera disahkan menjadi PP.

Apa yang mendasari sikap Ganjar yang getol memperjuangkan nasib tenaga honorer itu? Berikut petikan wawancara wartawan JPNN, M. Kusdharmadi dengan Ganjar Pranowo, Kamis (3/11).

Anda dan PDI Perjuangan begitu getol memerjuangkan permasalahan tenaga honorer yang belum juga diangkat sebagai CPNS ini. Sampai saat ini sudah sejauh mana bentuk perjuangan itu?

Sebenarnya kita harus melihat sisi banyak hal. Mereka (tenaga honorer) sendiri selama ini tidak terakomodasi.  Banyak mereka datang mengadu kepada kami. Kita pun memperjuangkan yang realistis. Kita sudah meminta rapat gabungan dengan beberapa kementerian. Kemudian rapat dengan komisi. Lalu muncullah lima kelompok itu. Karena tidak memungkinkan lima kelompok diangkat semua, kita lakukan kompromi secara politik.

Lalu masuk beberapa kategori dan muncullah kategori I (dibiayai dengan APBN dan APBD) dan II (dibiayai di luar APBN dan APBD).  Sayang pemerintah tidak melirik hal ini.  Padahal mereka (tenaga honorer) ini istilah kita tercecer. Seperti di Jawa Tengah mereka (tenaga honorer) seperti teranulir, sudah ikut tes, kemudian lulus tapi dibatalkan. Ini harusnya menjadi tanggung jawab negara. Bukan mereka (tenaga honorer) yang harus jadi korban. 

Kita juga bisa gunakan pendekatan kesejahteraan. Saat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dijabat Taufik Effendi, sudah sepakat kalau tidak harus melihat sebagai PNS-nya. Tapi pendekatan kesejahteraan. Maka mereka diberikan pendapatan dengan jaminan sesuai UMR.

Minimal kalau sakit tidak bayar. Ini sebenarnya sangat mudah, hanya pekerjaan financial enginering. Tapi, pemerintah tidak merespon.  Padahal, banyak honorer itu bagus, kendati banyak juga titipan. Yang bagus misalnya, guru yang bertugas di remote area, nah itu tidak diperhatikan. Harusnya yang puluhan tahun layak diangkat, kendati mesti tetap selektif.

Jumlah tenaga honorer yang diajukan untuk diangkat sebagai CPNS mencapai 67 ribu. Itu untuk tercecer kategori I. Kalau semua diangkat apa dari sisi anggaran tidak memboroskan keuangan negara?

Kalau bicara boros atau tidak kita ini relatif masuk kategori oke. Singapura jauh di bawah kita. Kita indeks pelayanan masih oke. Memang kalau perhitungan boros atau tidak boros boleh saja. Namun, PNS ini sudah jadi lapangan kerja. Karena tidak ada lapangan kerja lain. Kalau di luar lapangan pekerjaan ada, mereka tidak akan berbondong-bondong ingin menjadi PNS. Cuma kan lapangan pekerjaan tidak ada. 

Di sini bagaimana peran (Kementerian) Perindustrian, Perdagangan dan Tenaga Kerja soal ini. Kita, kalau honorer yang sudah lama, usianya juga sudah layak, prestasinya bagus kita perjuangkan. Kita tidak bicara jumlah. Ketika diminta pendataan muncul angka segitu.

Cuma, pengelolaan Sumber Daya Manusia oleh sektor yang menggunakan mereka mesti dikoordinasikan. Maksudnya, kalau ada jumlah PNS di suatu daerah terlalu gemuk, dan rasio pelayanan publik cukup, tidak usah nambah. Kalau lebih dipindahkan. Tapi PNS terlanjur masuk kota yang menjalankan otonomi daerah, tidak bisa digeser.

Harusnya kebijakannya kalau melebihi kapasitas, pindahkan ke daerah lain. Minimal daerah otonom baru. Sehingga kebijakan ini seolah-olah berdiri sendiri, tidak demikian. Harus ada turunan atau pengaruh. Ada urutan pengelolaan berikutnya.

Tanggapan Anda terkait tidak jelasnya waktu pengesahan RPP pengangkatan tenaga honorer menjadi PP?
Pemerintah tidak terlalu serius. Bercanda ini pemerintah. Lima kategori, oke, kalau tidak mampu akhirnya kita sepakati. Kalau semua mau, dulu bisa sampai 1 juta yang harus diangkat. Nah, kita berikan masukan sebuah dorongan pemerintah untuk mengganti PP-nya. Karena PP bukan wilayah DPR tapi pemerintah. Kebutuhan politik, anggaran, kita siapkan. 

RPP ini sudah di meja presiden tinggal di teken saja. Lantas permasahan ini merupakan  bentuk pengingkaran dan lemahnya komitmen politik pemerintah. Ya pakai perasaanlah,  dengarkanlah mereka (tenaga honorer), apa masalah mereka. Kalau perlu saat pengangkatan itu diikuti kontrak, kalau tidak bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia, ditendang. Itu sudah kita omongkan.

Tidak ada political will dari pemerintah?

Political will tidak ada. Masalah ini sudah sejak 2009, akhirnya kita dipakai untuk kepentingan politik. Bayangkan sekarang sudah 2011 tapi belum beres juga. Nasib mereka (tenaga honorer) ini ngeri betul.

Ke depan bagaimana ?

Nanti Undang-undang ASN (Aparat Sipil Negara) pengganti Undang-undang Kepegawaian lahir, tidak ada lagi tenaga honorer. Kebijakan itu diakhiri. Saat ini kita rapat kerja terus, habis reses akan dilanjutkan pembahasan RUU ASN. Pemerintah sudah mengajukan DIM (Daftar Isian Masukan). Nanti itu, adanya masuk sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT). Kalau mereka honorer, tidak ada kepastian. Syukur-syukur kalau bisa direkrut. Nanti honorariumnya seolah-olah mereka dibayar seperti pemagang. Jadi seperti sambil magang tapi dibayar. Itu konsep yang saya bicarakan panjang lebar dengan pemerintah. (**)