4 November 2011

Banyak CPNS Titipan, Honorer Jadi Korban


GTT Datangi Kemendiknas, Minta RPP Segera Dikeluarkan

JAKARTA - Desakan supaya pemerintah segera mengesahkan RPP tentang Pengangkatan Honorer Menjadi CPNS terus mengalir. Kemarin (3/11), puluhan guru honorer melakukan audiensi dengan jajaran pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka meminta Kemendikbud ikut mendesak Presiden SBY segera mengesahkan RPP tersebut.

Para guru itu berasal dari Forum Honorer Indonesia (FHI). Rombongan yang dipimpin Nur Aini, guru honorer asal Tegal, Jateng ini diterima Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP) Syawal Gultom dan jajarannya. Dalam audiensi, terungkap jika di lapangan, nasib para tenaga honorer, baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya (TU sekolah, penjaga sekolah, penjaga koperasi sekolah) sering terjepit. Di antaranya diungkapkan Subandi, guru honorer SMKN Jogjakarta yang masuk Kategori II (digaji dari dana non APBN dan APBD).

Subandi menuturkan, di lapangan para tenaga honorer kerap berhadapan dengan predator. Celakanya, predator itu tidak lain adalah sesama guru atau tenaga pendidikan lainnya. "Kalau diperhalus, istilahnya jeruk makan jeruk," katanya.

Dia menjelaskan, tenaga honorer yang sudah bekerja puluhan tahun di sebuah sekolah, sering menjadi tumbal keberadaan CPNS baru. Subandi menuturkan, banyak tenaga honorer seprofesinya yang tiba-tiba jam mengajarnya dipangkas hampir habis karena sekolah mendapatkan tenaga CPNS baru.

Subandi mengakui, kondisi tadi merupakan imbas adanya persaingan. "Tapi sayangnya, persaingan kadang tidak sehat," tuturnya dengan lantang. Yang menjadikan persaingan tadi tidak sehat adalah, banyak CPNS baru ternyata titipan atau keluarga pejabat setempat.

"Kepala sekolah tidak enak menolak, jadi yang dikorbankan honorer," sambung Subandi. Supaya tidak terus menjadi korban predator ini, dia berharap RPP segera diteken presiden, sehingga dia dan rekan-rekannya bisa segera diangkat menjadi CPNS.

Nur Aini juga menyampaikan kondisi yang hampir serupa. Guru honorer yang masuk kategori itu menjelaskan, segala tunjangan yang diterima para tenaga honorer tidak masuk kantong dalam keadaan utuh. "Harus dibagi-bagi dengan tenaga honorer yang lain. Dapatnya tidak seberapa, membaginya banyak," katanya.

Aini mengatakan, sebagian besar tenaga honorer kategori II adalah tenaga pendidik dan kependidikan. Untuk itu, dia sangat berharap campur tangan Kemendikbud supaya ikut mendesak presiden untuk meneken RPP pengangkatan honorer menjadi CPNS.

Menanggapi tuntutan tersebut, Syawal Gultom mengatakan, posisi RPP tadi sudah berada di Sekretariat Negara (Setneg). Dia juga menghimbau kepada seluruh tenaga honorer untuk tidak lelah memperjuangkan nasibnya. "Tapi harus dengan cara-cara yang dialogis," paparnya.

Gultom menuturkan, persoalan guru honorer atau guru tidak tetap (GTT) memang cukup pelik. Jumlah guru di Indonesia sebenarnya melimpah, tetapi masih saja kekurangan. Dia menyebutkan, rasio guru dan murid di Indonesia adalah 1:8. Artinya, satu guru mengajar delapan murid. Perbandingan tadi mengungguli Amerika yang rasionya 1:20.

Kondisi ini, jelas Gultom terjadi karena kurang efektifnya pemerataan guru. Para guru cenderung menumpuk di pulau Jawa. Khususnya di pusat-pusat kabupaten atau kota. Untuk itu, jika setelah RPP pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS nanti disahkan, tenaga honorer harus rela dipindah ke daerah yang masih kekurangan guru. "Baik itu lintas kabupaten, kota, provinsi, bahkan lintas pulau," katanya.

Terkait keluhan gaji guru honorer yang kecil, Gultom berharap para lulusan sarjana pendidikan yang ingin menjadi guru swasta atau non-PNS, berani memasang tarif. "Kalau bisa di atas UMK. Sebab guru itu adalah profesi," katanya. Jika sekolah tidak mau menggaji sesuai standar tadi, calon guru swasta harus berani menolaknya.

Menanggapi pernyataan Gultom tersebut, Aini mengatakan sulit diterapkan di lapangan. "Sarjana pendidikan pasti milihnya cari kerja dulu. Gaji urusan kedua," katanya. Dia berharap, jika memang ada standar gaji minimal untuk guru dan tenaga kependidikan swasta atau honorer, harus diatur dalam peraturan daerah (perda).(wan/nw)