26 November 2011

Guru Nyambi Pengayuh Becak, Demi Hidupi Tiga Anak


Tahun ini genap 18 tahun, Sugeng menjalani profesi gandanya sebagai guru SMP dan pengayuh becak. Tidak pernah sedikitpun terlontar keluhan dari bibirnya. Semua ia jalani dengan ikhlas. 

Laporan Lia Apriandari, BANDARLAMPUNG
========
Tinggi mentari masih sepenggalah saat Radar Lampung (Group JPNN) menginjakkan kaki dihalaman SMP Nusantara di Jalan Jelantik No. 16 Tanjungagung, Tanjungkarang Timur (TkT), Bandarlampung. Saat itu, seorang pria berpakaian batik coklat kekuningan sedikit tergopoh memasuki sebuah ruang kelas. Ditangannya sebuah buku bergambar not balok tergenggam erat. 


Tak lama kemudian, pria yang belakangan diketahui bernama Sugeng ini terlihat memberi salam kepada para siswanya yang seolah sudah tidak sabar ingin menyerap ilmu yang akan ia tularkan. Tanpa banyak ba-bi-bu, pria yang tercatat sebagai warga Jalan Bangau, Tanjungagung, TkT ini langsung menghampiri white board. Dengan cekatan, ia mulai menggoreskan spidol hitam ditangan kanannya membentuk pola-pola not balok. 

Sejenak kemudian, bapak tiga anak ini dengan suara halus mulai menerangkan cara membuat dan membaca lambang-lambang tersebut. 

Ya, Sugeng adalah guru kesenian sekolah itu. Profesi ini telah ia geluti sejak 1987 silam. “Awalnya saya tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang guru. Nasib yang menuntun saya menjalani profesi ini,” ujarnya kepada Radar Lampung seusai mengajar. 

Dari penuturan pria 44 tahun ini, dirinya adalah salah satu alumni SMP Nusantara. Ia lulus pada 1983. Karir pendidikannya kemudian berlanjut ke sekolah pendidikan guru (SPG) 1 Pahoman. Pendidikan ini berhasil ia selesaikan pada 1986. Setahun kemudian, pria berkulit sawo matang ini melamar sebagai staf tata usaha (TU) di almamaternya. 

Dari sinilah karirnya sebagai guru dimulai. Karena sekolah itu kekurangan guru, Sugeng yang memiliki bakat seni lantas diberi amanah untuk mengajar seni budaya. Sebagai bentuk keseriusannya menekuni dunia pendidikan, ia lantas melanjutkan berupaya melanjutkan pendidikannya. Pilihan akhirnya jatuh ke pendidikan guru sekolah menengah tingkat pertama (PGSMTP) di Pahoman. Di lembaga setara D1 itu ia berhasil lulus dengan nilai cukup memuaskan.

“Waktu itu kebetulan di SMP Nusantara ini tidak ada guru kesenian. Karena saya dipandang punya bakat, saya lalu ditawari menjadi guru. Tawaran ini kemudian saya terima,” tutur sembari menatap barisan siswa yang tengah berlatih upacara. 

Namun sayang, meski telah mengabdikan diri selama 24 tahun, embel-embel guru honorer hingga kini tidak juga lepas. Saat ini ia hanya menerima honor sebesar Rp224 ribu per bulan. Di zaman ini, jumlah itu tentu sangat jauh dari kata cukup. 

Meski demikian, Di tengah himpitan ekonomi karena harus menghidupi keluarganya, Sugeng mengambil keputusan yang cukup mengejutkan. Sejak 1993 ia akhirnya memutuskan untuk menjadi pengayuh becak. 
“Mau bagaimana lagi mbak, kerjaan ini yang paling bebas karena tidak ada tekanan atau tuntutan dari manapun. Kapan saja saya punya waktu, saya bisa narik (becak),” ungkapnya. 

Dijelaskan, pada saat ia mendapat jam mengajar siang hari, ia mengayuh becak pada sore dan malam hari. Demikian sebaliknya. Dari usaha ini, Sugeng bisa mengantongi penghasilan hingga Rp30 ribu per hari. Meski kerap harus pulang hingga larut, ia tetap setia menjalani profesi ini. 

Ketika guru lain bisa beristirahat, Sugeng masih harus menjalani profesi sampingannya. Penampilannya pun berubah drastis. Jika saat mengajar ia mengenakan kemeja batik, ketika mengayuh becak baju itu ia ganti dengan baju kotak-kotak lengan pendek yang sudah mulai pudar warnanya. Saat itu ia hanya mengenakan celana hitam selutut dipadu dengan sandal jepit merah dan topi coklat yang melindungi kepalanya dari sengatan matahari. 

Setelah mengecek kondisi becak kesayangannya, dengan penuh percaya diri, Sugeng lantas mengayuh menuju Pasar Tugu TkT. Terik mentari dan derasnya hujan sudah menjadi bagian hidupnya. Namun, itu semua tidak menjadi halangan berarti untuk terus mengayuh becak hitamnya. Tak jarang, ban becaknya kempis di tengah jalan. Jika sudah begitu, artinya ia harus merelakan sebagian penghasilannya melayang. 

Padahal, uang penghasilan itulah yang ia pakai untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Yaitu Ratih Sepsilawan (17) yang kini duduk di bangku kelas 3 SMA; Surya Galih (14) duduk di kelas 2 SMP dan si bungsu, Singgih Remili Darma (12) duduk di kelas 6 SD. 

Sayang, saat ini ketiga buah hatinya itu harus rela kehilangan kasih sayang ibu mereka. Sebab, sejak Maret 2011, sang istri memilih untuk meningggalkan Sugeng dengan alasan tidak mau hidup susah. Penderitaan Sugeng makin lengkap karena sejak beberapa tahun terakhir, sebuah virus yang belum diketahui jenisnya menggerogoti syaraf belakang kepalanya. Akibatnya, sebagian wajah Sugeng sempat berubah bentuk. 

Meski kini berangsur normal, namun bagian mata sebelah kirinya masih tampak merah. 
Meski dikenal sebagai pengayuh becak, namun di mata siswa dan rekan kerjanya, sosok Sugeng dipandang terhormat. Ini tidak lain karena sikap disiplin yang senantiasa ia tunjukkan kepada para anak didiknya. Sekalipun dalam kondisi sakit, dia masih tetap bersemangat untuk menularkan ilmu kepada para anak didiknya.

Sugeng juga dikenal sebagai guru yang selalu datang tepat waktu. “Saya tidak ingin anak didik saya menunggu untuk diberi ilmu,” ucapnya merendah. 

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Kholinawati, S.Pd., juga mengakui hal ini. “Pak Sugeng merupakan seorang yang sangat tabah, sangat bertanggung jawab, dan disiplin. Walaupun dalam kondisi sakit, ia tetap mengajar murid-murid. Datangnya pun tidak pernah telat. Pokoknya sangat disiplin,” katanya ketika dimintai tanggapan.

Senada, sang anak Ratih mengaku bangga meski sang ayah menekuni pekerjaan yang kerap dipandang rendahan itu. “Saya justru bangga Mbak dengan bapak. Saya tidak malu punya bapak tukang becak,” katanya penuh keyakinan. 

Dipenghujung karirnya, Sugeng masih menyimpan sebuah ambisi besar yaitu melanjutkan pendidikannya ke jenjang strata 1. “Biar saya bisa diangkat Mbak. Sekarangkan untuk dapat sertifikasi guru harus sarjana. Semoga Allah SWT, mengabulkan harapan ini,” ,” katanya sambil menunduk.(fik)